Wabah corona selain menahan interaksi sosial juga berefek melumpuhkan aktivitas ekonomi. Sebab aktivitas ekonomi akan hidup ketika aktivitas jual beli terjadi. Dan kebanyakan dari masyarakat kita transaksi ekonomi terjadi ketika penjual dan pembeli bertemu.
Munculnya virus tentu bukan hal yang diinginkan dari kita sebagai manusia. Apalagi teori dan realitas manusia tidak bisa hidup secara individu. Namun pandemi yang melanda hampir seluruh dunia merubah tatanan masyarakat.
Mengutip BBC data dari Kantor Statistik Nasional China (ONE), patokan Purchasing Managers’ Index (PMI) dari sektor manufaktur jatuh 14,3 poin ke 35,7 setelah sebelumnya mencapai angka 50 poin pada bulan Januari tahun 2020.
Padahal manufaktur dunia saat ini sepertiganya ada di China. China juga menjadi eksportir terbesar dunia, maka kejatuhan angka PMI akan memiliki dampak kepada negara-negara lain.
Apa yang terjadi di China berimplikasi ke Indonesia. Pertumbuhan yang ditargetkan 5% hampir pasti tidak terwujud. Bahkan Meneg BUMN menyebut pertumbuhan bisa sampai minus 0,4%.
Tidak hanya di sektor manufaktur, krisis pangan menjadi sektor selanjutnya yang terdampak. FAO sendiri sudah menyebut akan terjadi krisis pangan. Benar saja di Amerika masalah pangan hal yang sulit didapat. Bahkan kebijakan social distancing berbuah panic buying bukan hanya soal perut tapi melonjaknya pembelian senjata api.
Lain di amerika lain di negara kita. Opsi krisis pangan diantisipasi dengan pembukaan lahan basah dan gambut. Kalimantan Tengah disiapkan menjadi lahan yang siap diolah dengan perkiraan lebih dari 900.000 hektare, dimana lahan yang sudah siap 300.000 hektare sementara yang dikuasai BUMN sekitar 200.000 hektare.
Namun dari ancaman dan imbas pandemi yang belum diketahui berakhirnya tersebut berbuah pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya.
Pertama, social distancing justru memperkuat rasa aware diantara sesama anak bangsa. Indonesia bersyukur memiliki budaya guyub rukun dan tolong menolong. Bisa dilihat betapa banyak organisasi filantropi. Fenomena bencana alam yang melanda belakangan sebelumnya adalah bukti bahwa rasa kemanusiaan masyarakat kita tidak perlu dipertanyakan.
Kedua, selain sisi positif adanya wabah atau pandemi semacam corona menambah keyakinan bahwa bangsa kita masih bergantung secara ekonomi pada negara-negara maju. Ketergantungan supply chain pada bahan baku dan material telah nyata melumpuhkan sektor industri.
Ketiga, menyusutnya daya beli dan pertumbuhan ekonomi bukan ekses dari wabah corona. Ada atau tidak corona kondisi ekonomi global dalam posisi down terlebih Bank Dunia menyebut akibat kondisi saat ini dunia mengalami resesi.
Dan keempat, pembatasan sosial menyadarkan manusia akan hukum perubahan yaitu pentingnya memahami teknologi sebagai unsur kehidupan. Yang bertahan ialah yang bisa beradaptasi. Komunikasi baik dalam pekerjaan dan transaksi jual beli pada akhirnya bergantung dengan teknologi.
Pembahasan dan perdebatan terkait dampak ekonomi memang bukan hal yang baru. Sudah banyak pakar berbicara tentang implikasi jika pandemi berkepanjangan. Namun kita bisa belajar mana negara yang bisa bertahan dalam berperang melawan wabah.
Febri Widiyanto
Ketua Bidang Narasi & Literasi DPW Partai Gelora Kaltara