Newstara.com TARAKAN – Anggota DPRD Kalimantan Utara (Kaltara) Syarwani dari fraksi Partai Golkar menduga unjuk rasa damai Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Tarakan ditunggangi politik dan diduga mendapat dukungan dari perusahaan media lokal yang tidak di kontrak Pemprov Kaltara. Alhasil, pernyataan tersebut dianggap melecehkan lembaga kemahasiswaan dan menimbulkan reaksi dari pengurus Ikatan Alumni Universitas Borneo Tarakan (ILUNI UBT) Fajar Mentari, S.Pd
Pengamat social media (sosmed) dan Politik Kaltara ini menilai tudingan Syarwani sensitif untuk lepas ke publik, bahkan secara etika tidak pantas diucapkan oleh seorang wakil rakyat dan sudah mengerdilkan nilai-nilai kemahasiswaan hingga prinsip ideal yang terkandung dalam keorganisasian mahasiswa.
“Jika pun mau bicara pada wilayah itu, maka harus berdasarkan data, bukan berdasarkan katanya dan saya no comment bicara anggaran humas dengan angka puluhan miliar. Tapi saya berbicara karena kecewa pernyataan seorang wakil rakyat yang tidak bijak dan tidak pantas berkomentar demikian,” tutur FM.
“Syarwani harusnya lebih objektif dan komprehensif melihat sebuah perkara, karena setiap daerah kita inginkan bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepostisme (KKN). Dan PMII sebagai salah satu lembaga eksternal kemahasiswaan turut berpartisipasi mengambil perannya dalam kontrol sosial masyarakat dan pemerintah,” sambungnya.
FM mengatakan lembaga kemahasiswaan dan media sebagai salah satu pengawasan, kontrol dalam mengawal kinerja kebijakan pemerintahan. Namun, jika di satu sisi dianggap ideal dan sisi lainnya ada indikasi temuan, maka seharusnya disikapi dengan normatif dan seorang anggota dewan tidak akan menurunkan kelasnya jika mengajak diskusi PMII yang menginginkan data hasil audit BPK Kaltara terkait anggaran humas dan protokoler Pemprov Kaltara.
“Mereka hanya meminta transparansi data audit BPK dan itu sudah sesuai dengan prosedur dan mekanisme, bilaperlu dibuka juga berapa media yang dikontrak dan tidak di kontrak Pemrov Kaltara, lengkap dengan nilai kontrak masing-masing media, apa susahnya sih dan itu audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov Kaltara tahun 2017, 2018 dan 2019. Sementara pak Syarwani ini kan baru saja jadi anggota DPRD Provinsi, pertanyaan saya kenapa beliau yang terkesan seperti kebakaran jenggot,” tegasnya.
“Lalu boleh dong saya juga ikut curiga ada hubungan apa pak Syarwani dengan Pemprov Kaltara?, jika saya mau balik statementnya seolah-olah seperti juru bicaranya, bukan sebagai wakil rakyat? Bagaimana jika di balik bahwa apa yang disampaikan salah satu anggota dewan yang terhormat itu ditunggangi kepentingan politik atau Pemprov?,” sambungnya.
FM menyebutkan, Syarwani harus memahami mekanisme dan aturan saat masyarakat seperti lembaga PMII meminta data terkait transparansi penggunaan anggaran Humas dan Protokol Pemprov Kaltara, maka mekanismenya itu sudah benar yakni berkirim surat dan menunggu balasan surat dan lainnya. Namun, jika yang bersangkutan menggiring kepada persoalan politik maka terjadi bias dan justru Syarwani yang lebih dulu menggiringnya ke ranah politik.
“Tudingan dugaan itu saya anggap sebagai suatu penghinaan terhadap lembaga kemahasiswaan. Dalam hal ini tentu banyak pihak yang dilukai, baik lembaga mahasiswa maupun media, dan jujur saya sebagai alumni mahasiswa juga ikut merasakan kabar duka ini, sikap itu menodai marwah mahasiswa, melecehkan wadah kaum intelektual dan dampaknya bisa saja meresahkan dan berpotensi memancing gejolak dari beberapa lembaga mahasiswa,” tuturnya.
Tokoh Muda Muhammadiyah ini juga prihatin dengan statment wakil rakyat yang tega menghakimi aspirasi mahasiswa tanpa referensi hukum yang jelas dan terukur. Dan mempertanyakan intelektual Syarwani sebagai alumni mahasiswa, apalagi yang bersangkutan adalah Ketua Ikatan Alumni PMII Kaltara, sekaligus wakil rakyat yang berbicara hanya asumsi dan tidak pada sumber ilmiah yang didukung data dan fakta.
“Permintaan adik-adik dari PMII ini sebaiknya disikapi lebih profesional, dan Syarwani kapasitasnya sebagai wakil rakyat, karena kapasitas senior dan seni politik tidak bisa dijadikan alasan untuk menghadang dan menghalangi publik untuk meminta haknya,” tutupnya.
Reporter: Aldi S