Newstara.com JAKARTA – Buku Putih Fahri Hamzah merekam sebuah perdebatan yang serius tentang bagaimana tentang “Daulat Parpol vs Daulat Rakyat” yang bermanfaat bagi pembangunan demokrasi ke depan. Buku itu, merupakan karya yang dipicu oleh peristiwa yang terjadi 5 tahun lalu ketika diberhentikan PKS dari seluruh jenjang keanggotaan (pemula-muda-dewasa-ahli), tanpa sebab dan alasan sehingga pemecatan tersebut kalah (dibatalkan) oleh pengadilan negara.
Pengadilan negara mengidentifikasi adanya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berupa peradilan sesat dan PMH lainnya sehingga secara berjenjang dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung secara konsisten perbuatan pimpinan PKS telah dibatalkan.
Meski PKS menolak, Sekarang sedang menunggu hasil dari kewajiban yang harus dibayarkan PKS kepada Fahri Hamzah sebesar Rp 30 miliar setelah peristiwa kasasi (inkracht). Dana itu rencananya, akan Fahri peruntukkan bagi masyarakat, khususnya rakyat yang tidak beruntung, fakir miskin dan anak-anak terlantar.
“Sejak awal PKS menganggap remeh keputusan pengadilan, tapi saya akan berdiri mendukung peradilan. Tetapi jauh lebih penting adalah menjelaskan baik secara teoritis maupun dalam prakteknya apa yang menjadi dasar dan apa yang menjadi kejadian sebenarnya dalam peristiwa tersebut,” tutur Fahri Hamzah di Restauran daerah Senayan, Jakarta Pusat, Jumat siang, (21/02/2020).
“Penting bagi kita untuk memperbincangkan masa depan penyelenggaraan negara dengan memberi perhatian kepada masa depan pengelolaan partai politik. Demokrasi tidak bisa menghindari eksistensi lembaga yang merupakan jembatan menuju negara ini,” sambungnya.
Sehingga dalam buku putih terdapat beberapa jejak teoritis perdebatan antara daulat partai politik yang belakangan ini nampak makin menguat sejalan dengan menurunnya citarasa demokrasi dan berhadapan dengan daulat rakyat yang telah secara sangat kuat terpatri dalam UUD 1945.
Kedaulatan rakyat seperti yang di ketahui dan di dengar serta di lihat dalam Pembukaan UUD, bahkan setelah tujuan negara dan sebelum Pancasila disebutkan, disebutlah prinsip “….yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa…” dan seterusnya.
Karena itu konsepsi “kedaulatan rakyat” dalam tradisi konstitusi Indonesia harus mewarnai seluruh tradisi bernegara kita. Kedaulatan takyat adalah merupakan suatu konsepsi yang serius dan sangat kuat. Inilah pertanda demokrasi kita yang sungguh-sungguh.
“Buku Putih Fahri Hamzah saya tulis untuk pengembangan partai politik kita kedepan yang sama sekali tidak boleh mengarah kepada berkuasanya sekelompok orang atau matinya prosedur sehingga hak-hak keanggotaan, (yang di dalamnya ada hak asasi manusia), dirampas dengan sangat mudah,” tuturnya.
Partai politik adalah rahim bagi demokrasi Indonesia yang apabila gagal menerapkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat di dalamnya maka partai politik akan dengan sangat mudah terjebak pada pembolehan atau bahkan permisif terhadap oligarki dan politik dinasti.
“Maka dengan kerendahan hati saya persembahkan Buku Putih Fahri Hamzah ini dan selamat mengikuti bedah buku bagi yang sempat ikut dan selamat membaca Buku Putih Fahri Hamzah,” tutup Fahri.
Reporter: Mufreni