Connect with us

Opini

Harga Kredit Bukan Faktor Tunggal

Dosen & Peneliti di Universitas Borneo Tarakan, Dr. Margiyono, SE, M.Si. (Ft. Dok)

Ditulis Oleh: Dr. Margiyono, SE, M.Si (Dosen & Peneliti di Universitas Borneo Tarakan)

Minggu yang lalu tanggal 15-16, kita menyaksikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia, dimana salah satu keputusannya adalah menurunkan tingkat bunga acuan. Penurunan bunga ini, tidak dapat dipisahkan dengan upaya mendorong peningkatan kredit. Sejatinya peningkatan kredit dipengaruhi oleh banyak faktor.

Karena itu, bunga acuan BI yang biasa disebut BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) hanya salah satu dari sekian banyak faktor. Prinsip pemasaran meyakini bahwa permintaan terhadap suatu produk dipengaruhi oleh variabel marketing mix. Dari tujuh variabel yang biasa disebut 7P, pembahasan ini hanya membahas 5P yaitu price, promotions, place, people, dan process.

Satu-satunya variabel yang saat ini mendapat perhatian serius Bank Indonesia adalah price. Dalam hal ini price adalah harga dari kredit. Tinggi rendahnya bunga akan mempengaruhi naik-turunya permintaan kredit. Sementara, masih adat 4 variabel yang belum mendapat perhatian.

Berkaitan dengan kebijakan penurunan tingkat bunga, fakta menujukan, penurunan bunga acuan satu tahun terakhir tak mampu mendorong naiknya permintaan kredit perbankan. Padahal sejak Juli 2019-Juli 2020, bunga acuan telah mengalami penurunan mencapai 200 basis point. Dari 6 % pada Juni 2019 saat ini (Juli 2020) bunga acuan turun menjadi 4%.

Artinya harga kredit telah diturunkan sebesar 33,33%. Meskipun bunga telah diturunkan kredit tak juga meningkat. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Karena itu, memperhatikan variable lain selain suku bunga adalah bagain terpenting untuk meningkatkan kredit yang tidak kunjung naik.

KORELASI BUNGA DENGAN KREDIT
Tahun 2019 suku bunga acuan empat kali diturunkan. Yaitu pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober, dengan besaran masing-masing sebesar 25 basis point. Sehingga total penurunan suku bunga acuan untuk tahun 2019 telah mencapai 100 basis point. Dari 6 % pada semester I sejak bulan Oktober 2019 turun menjadi 5 %. Pada periode yang sama realisasi kredit tumbuh 6,1 persen. Padahal pada Desember 2018 kredit masih tumbuh sebesar 11,75 persen

Penurunan suku bunga acuan untuk tahun 2020 berlanjut. Memasuki Triwulan ke III telah mengalami 4 kali penurunan yaitu Bulan Februari, Maret, Juni dan Juli 2020. Masing-masing turun 25 basis point. Karena itu, hingga bulan ini (Juli 2019) BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 100 basis point.

Sama dengan penurunan pada semester II tahun 2019. Seperti halnya kebijakan sebelumnya, penurunan bunga acuan turun dari 5% menjadi 4%. Kebijakan ini diharapkan mampu mendorong kenaikan kredit lebih tinggi lagi. Karena berdasarkan hasil survei Bank Indonesia kredit untuk tahun 2020 diperkirakan hanya tumbuh pada kisaran 5 – 6 persen. Melalui penurunan bunga acuan, BI mencoba memberikan insentif lebih besar lagi untuk sektor riil.

Insentif ekonomi ini sangat penting jika dikaitkan dengan potensi resesi ekonomi dunia. Dinama World Bank memprediksi perekonomian global akan mengalami kontraksi hingga -5,2 persen. Sementara Indonesia pertumbuhan untuk tahun 2020 sebesar 0,0 persen. Pertumbuhan itu masih lebih baik jika dibanding dengan negara maju yang mengalami kontraksi hingga -7, 0 persen.

Sekalipun bunga acuan sebesar 4% namun dalam prakteknya bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan masih berada pada kisaran 10 – 16 persen. Pertanyaanya? Mungkin kah perbankan mampu menetapkan bunga kreditnya dengan satu digit. Untuk bisa menurunkan bunga sampai dengan satu digit tentu harus didukung oleh tingkat efisiensi yang lebih baik.

Upaya efisiensi diperbankan menghadapi banyak kedala. Salah satunya adalah tingginya asset perbankan. Asset yang besar membutuhkan perawatan dan berhadapan dengan penyusutan. Sementara pendapatan tergerus oleh ketatnya persaingan. Kondisi itu akan berdampak pada situasi, perbankan tidak mampu menekan biaya.

Karena itu, menjual kredit dengan bunga yang lebih rendah lagi adalah sesuatu yang semakin sulit. Karena biaya yang tinggi akan menjelma menjadi harga yang mahal. Hal itulah yang menjadi turunnya permintaan kredit.

VARIABEL NON BUNGA
Pertumbuhan kredit yang rendah disaat bunga acuan terus diturunkan adalah bertentangan dengan teori investasi. Beberapa variabel yang akan kita bahas berikutnya adalah promotions, place, people, dan process. Keempat variabel itu sebenarnya lebih berkaitan dengan aspek internal. Kelemahan internal akan dimanfaatkan oleh pihak eksternal. Pihak eksternal adalah pesaing yang juga berusaha untuk menguasai dan merebut pangsa pasar perbankan. Misalnya leasing, koperasi simpan pinjam, lembaga pembiayaan, asuransi termasuk pegadaian.

Gaya komunikasi untuk promotion Perbankan seringkali sanngat formal dan baku. Sekalipun harga jual produk perbankan lebih murah. Kualitas produk juga berkualitas. Namun persepsi konsumen akan menentukan. Bunga kredit perbankan jauh lebih rendah dibanding lembaga penyedia simpanan non bank (LPSNB). Bunga kredit perbankan sekitar 10 – 16 persen. Sementara LPSNB bisa mencapai 30 -36 persen. Bahkan rentenir bisa mencapai 50 persen.

Salah satu kelebihan LPSNB antara lain mampu mengemas informasinya dengan lebih menarik. Misalnya, Anda butuh uang? “bunga hanya 3 %, 1 jam cair !!”. Walau faktanya bunga perbankan lebih rendah yang tampak bagi konsumen adalah masih lebih tinggi dan lebih mahal. Karena bunga 3 persen yang ditawarkan adalah bunga per-bulan. Sementara bunga bank per-tahun. Realitas ini menjadi tantangan serius perbankan dan Bank Indonesia untuk men-edukasi dan men-advokasi masyarakat.

Process, penyebab lainnya adalah berkaitan dengan administrasi dan legalisasi usaha. Hambatan administrative ini mampu diterabas oleh LPSNB. Mereka memahami segmentasi yang tak tersentuh bank dengan cermat. Karena itu strategi yang dilakukan menjadi lebih efektif. LPSNB mengemas informasi dengan “kesan” bunga kredit lebih murah disertai proses yang simpel dan cepat, bebas dari kesan bertele-tele.

Bahkan Fintect dapat melayani dengan sangat cepat, bisa dalam hitungan menit. Sementara perbankan masih disandera oleh prinsip kehati-hatian sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama.

Lokasi (place) pelayanan bank masih bersifat fisik. Artinya membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibanding fintect. Lembaga ini melayani konsumen dan lender-nya hanya dengan aplikasi. Asal ada hand phone, baterai dan sinyal semua urusan bisa diselesaikan. Perbankan memiliki asset dan tenaga kerja. Awalnya memang menjadi asset namun dalam prespektif digitalisasi “people” justru menjelma menjadi biaya. Karena pesaing barunya (Fintect) tidak terikat oleh “people”. Bahkan tidak perlu karyawan.

Dapatllah kiranya disimpulkan bahwa, (1) Pesaing perbankan nampak unggul dalam marketing sekalipun harganya lebih tinggi (2) Hanya dengan menurunkan tingkat bunga acuan, upaya peningkatan kredit belum maksimal. (3) Peningkatan kredit membutuhkan perbaikan promosi, proses, restrukturisasi sumberdaya dan adaptif terhadap teknologi (4) Kemudian Peningkatan kinerja Perbankan bukan hanya tanggung jawab Bank Indonesia, tetapi juga menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Akhirnya, dapat di tegaskan bahwa selain meningkatkan “daya saing”, Regulator juga bertanggungjawab untuk mengokohkan “daya sanding” antar lembaga keuangan. Hal itu penting untuk menjaga iklim persaingan yang sehat, dinamis dan berkelanjutan. Alias tidak kebablasan. (Semoga)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Opini