Newstara.com TANJUNG SELOR – Praktisi Hukum Kaltara-Kaltim, Agus Amri, SH mengatakan seorang kader dari sebuah organisasi atau partai politik yang diketahui “Ganti Baju”, maka dapat berpotensi dilakukan gugatan hukum terkait sanksi administrasi atau perdata. Namun, jika yang bersangkutan memiliki ikatan kontrak secara tertulis dengan partai politik (Parpol) yang ditinggalkannya atau melanggar ADART.
“Hukum di Indonesia tidak ada namanya seseorang yang sudah duduk di eksekutif, (Kepala Daerah, red) walaupun partai sebelumnya yang membesarkan namanya mendapat sanksi pemecatan misalnya, namun langkah hukum dapat memungkinkan bagi partai yang ditinggalkan untuk melakukan gugatan seperti wan prestasi ganti rugi jika terdapat pelanggaran kontrak atau dapat digugat dengan perbuatan melawan hukum (PMH) jika terdapat pelanggaran ADART partai itu sendiri,” tutur Agus Amri kepada Newstara.com pada Jumat malam, (24/07/2020) melalui selulernya.
“Sebelum mengajukan gugatan hukum, partai harus memiliki bukti kuat bahwa yang bersangkutan melanggar perjanjian atau ADART dulu baru bisa dilakukan gugatan,” sambungnya.
Agus Amri mengatakan berbeda ketika orang itu adalah anggota legislatif dan dipastikan dilakukan PAW (Pergantian Antar Waktu), namun jika seseorang sudah menjadi Walikota, Wakil Walikota/Bupati/Gubernur lalu kemudian pindah partai walaupun sebelumnya yang bersangkutan adalah kader dan diusung oleh partai lamanya.
“Kalau saya melihatnya begini, silahkan lakukan tuntutan hukum perdata atau administrasi, namun ini sebenarnya persoalan etika berpolitik yang santun, dan publik yang bisa menilainya,” tutur Agus Amri.
Baginya, selama tidak ada aturan yang tidak mengikat maka hal tersebut sah-sah saja dimata hukum, hanya saja jabatan kepala daerah yang merupakan jabatan publik dan menjadi publik figur maka seharusnya yang bersangkutan dapat memberikan pendidikan politik demokrasi yang lebih matang dan menjadi contoh generasi muda.
“Hukum kita di Indonesia ini masih sah-sah saja orang mau ganti baju, karena dalam sanksi hukum tidak membatasi seorang kader untuk setia dengan partainya, berbeda dengan negara maju seperti di Amerika seperti kader partai Demokrat yang sulit menyeberang ke partai Republik karena etika, mereka sudah maju ber demokrasi politiknya, kalau di Indonesia orang masih mudah loncat sana loncat sini,” tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Walikota Tarakan Effendhi Djuprianto yang sebelumnya merupakan kader Partai Hanura dikabarkan mendaftarkan diri dalam Musda (Musyawarah Daerah) DPD Partai Golkar Kaltara. Bahkan, kabarnya orang nomor dua di Tarakan ini adalah calon tunggal.
Reporter: Aldi S