Newstara.com JAKARTA – Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dijadwalkan akan melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Riau, Kunjungan yg akan dipimpin lansung oleh Pimpinan Komute II yakni senator dari Kaltara Hasan Basri, SE, MH. adalah untuk menindaklanjuti masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) selama tiga hari, yakni 11-13 November 2019 nanti.
Kunjungan kerja Anggota DPD-RI tak lepas dari tugas dan tanggung-jawab mereka atas masalah-masalah yang terjadi di daerah. Selain itu, kunjungan kerja ke lokasi Karhutla ini juga bagian dari tugas pengawasan atas Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pengawasan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasalnya, Karhutla yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia harus mendapat perhatian khusus, karena kebakaran tersebut menimbulkan kerugian, baik kerugian ekonomi, dampak kesehatan hingga dampak sosial dan lingkungan.
Pimpinan Komite II DPD-RI Hasan Basri, menjelaskan, Karhutla yang terjadi sejak Januari hingga September 2019 sekitar 350 hektar atau sekitar 11,6 persen. Meski Karhutla tahun ini agak kecil dari tahun 2015, tetapi membawa kerugian yang cukup besar bagi masyarakat.
“Karhutla 2015 itu hampir 3 juta hektar, dan di 2019 hanya 350 hektar. Lahan yang terbakar seluas 239.161 hektar adalah lahan mineral, dan 89.563 hektar merupakan lahan gambut,” kata Hasan Basri pada awak media usai rapat Komite, Selasa (15/10/2019)
Dikatakan politisi asal Kaltara ini, Karhutla ini juga mendatangkan kerugian ekonomi yang cukup cukup besar, meski masih jauh dari tahun 2015 lalu. Meski kerugian ekonominya kecil, tetapi luasnya areal kebakaran tahun 2019 lebih besar dari tahun 2015.
“Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Januari-September 2019 diperkirakan mencapai Rp 66,3 Triliun. Kerugian ini lebih kecil dibandingkan kebakaran tahun 2015, yang mencapai Rp 221 triliun. Jika luas kebakaran hutan tahun 2019 sekitar 11,6 % dari total luas kebakaran di tahun 2015, besaran kerugian ekonomi pada kebakaran hutan tahun 2019 adalah 30 % dari besaran kerugian pada kebakaran hutan tahun 2015. Dengan kata lain, tingkat kerugian akibat kebakaran hutan tahun 2019 lebih besar dibanding 2015,” jelas Hasan Basri.
Selain kerugian ekonomi, Karhutla yang terjadi di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Nangro Aceh Darussalam dan NTT ini juga berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.
Dari aspek kesehatan, Karhutla yang
menghasilkan polusi udara berupa kabut asap, berdampak pada infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA). Jumlah penderita ISPA pada Karhutla 2019 mencapai 919.516 orang. Penderita ISPA tersebar di enam provinsi, yakni di Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
“Menurut data BNPB, Sumatera Selatan menjadi provinsi terbanyak korban ISPA yakni 291.807 orang, diikuti Riau sebanyak 275.793 orang, Jambi 63.554 orang. Sementara di Kalimantan Barat mencapai 180.695 orang, Kalimantan Selatan mencapai 67.293 orang, dan Kalimantan Tengah berjumlah 40.374 orang,” jelasnya.
Pimpinan Komite II asal Kaltara ini menambahkan, Karhutla juga menimbulkan kerugian sosial, berupa hilangnya hutan sebagai sumber mata pencaharian, penghidupan dan identitas masyarakat adat.
“Belum lagi dengan kerugian ekologi, seperti hilangnya habitat keanekaragaman hayati flora dan fauna, rusaknya ekosistem penting yang memberikan jasa lingkungan berupa udara .dan air bersih beserta
makanan dan obat-obatan,” ujarnya.
Karhutla juga sudah menjadi
perhatian dunia internasional, karena dampaknya berupa bencana kabut
asap sudah menyeberang ke egara tetangga seperti Malaysia, Singapura
dan Thailand. Disamping juga tentu berdampak buruk terhadap kondisi li gkungan yg tercemar oleh kepulan asap.
“Kedepanx Juga kita Akan mengusulkan pengawasan ke Wilayah Kaltara, ditambah lagi pengawasan terhadap ketersediaan Energi Listrik dan BBM, tutup Pimpinan Komite II,” tutupnya. (***)