Newstara.com TARAKAN – Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2020-2025 secara serentak yang dilaksanakan hampir diseluruh belahan negeri. Untuk maju dalam konstlasi politik di Negeri ini, maka akan dibutuhkan sejumlah dana dan penganggaran yang tergolong tidak sedikit agar partai politik segera mentautkan pengusungannya kepada salah satu Bakal Calon (Balon). Namun, tahukan kita bahwa mahar politik teramat mahal harganya bila dibandingkan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang perlu sentuhan kebijakan yang pro kepada rakyat.
Pengamat Politik dan Social Media Kaltara, Fajar Mentari S.Pd menyebutkan saat ini terjadi krisis sosial kemasyarakatan yang majemuk. Bahkan, terjadi hampir diseluruh pelosok negeri dimana untuk menjadi seorang pejabat publik seperti anggota legislatif maupun kepala daerah, maka dibutuhkan belanja politik yang tidak sedikit.
“Saya dapat informasi bahwa satu kursi itu butuh setidaknya Rp 1 miliar jadi kalau dua atau tiga kursi didapat satu partai, maka kandidat akan mengeluarkan kocek hingga 3 miliar untuk mahar politiknya untuk sebuah surat sakti yang namanya SK, lalu jika KPU mengisyaratkan harus minimal 7 kursi di Kaltara maka setidaknya 7 miliar dibutuhkan, itu belum termasuk pra-entertainment, akomodasi selama di pusat, dana kampanye dan lainnya,” ujar Fajar Mentari kepada Newstara.com pada Selasa siang, (19/11/2019) di Tarakan.
FM menyebutkan untuk menjadi seorang pemimpin di Indonesia seperti Gubernur maupun Bupati, maka setiap kandidat setidaknya harus menyiapkan dana Rp 10 hingga 100 miliar. Karena, sudah menjadi rahasia umum adanya serangan fajar maupun belanja politik lainnya saat kampanye dan bertemu simpatisan.
Jika dikalkulasikan, mahar SK Parpol kisaran Rp 7-10 miliar, dana kampanye dan bertemu simpatisan selama masa kampanye kisaran Rp 20-30 miliar, lalu belanja sewa sekretariat dan lain-lain termasuk serangan fajar kisaran Rp 70-80 miliaran maka dibutuhkan paling sedikit sekitar Rp 100 miliar.
“Dana kampanye seperti serangan fajar saya kira itu lebih besar dari mahar partai, coba kita hitung jika head to head maka dibutuhkan setidaknya 51 persen suara, kalau DPT kita sekitar 100 ribu se Kaltara, maka sekitar 51 ribu, dari angka tersebut Rp 200 ribu dikalikan 51 ribu maka sekitar Rp 10,2 miliar,” tuturnya.
“Lalu apakah 51 ribu itu tidak lari, pasti lari sehingga ada area khusus yang harus di double seperti wilayah musuh, atau menculik simpatisan kandidat sebelah, menculiknya tanda kutip ya, maka kita harus buat dia diam tidak bergerak bila perlu militannya ke kita semua misalkan, nah itu semua butuh biaya besar dan lebih besar dari belanja politik manapun, belum lagi urusan bolak-balik mengurus SK, karena banyak macam alasan tentu entertaint harus nambah lagi, bayar pos-pos pintu yang harus dilewati untuk merebut tanda tangan SK,” tambahnya.
Sementara, salah satu petugas security di salah satu Kantor Sekretariat Partai di Jakarta yang tidak ingin namanya dipublikasikan mengatakan bahwa dirinya kerap kali menjadi penghubung bagi tamu-tamu dari daerah, yang ingin bertemu para elite partai. Dan kerap kali, tamu-tamu tersebut akan memberikan tips berupa uang sebesar Rp 1 hingga 10 juta.
“Iya mas tiap kali kita bisa menghubungkan mereka, kita biasanya dikasih tips, lumayan dan saya sudah hampir 10 tahun jadi sekurity disini mulai belum nikah sampai saya sudah punya anak, kalau sudah musim Pilkada atau Pileg, lumayan dapat uang tipsnya,” ujarnya kepada Newstara.com pada Jumat lalu, (18/11/2019) di Jakarta.
“Kalau ditanya kok tips nya besar, yah mereka kan mengisi buku tamu dan biasanya kalau saya sodorkan sama ketua pasti ditanya ini siapa, nah bagian saya itu yang jelaskan, nah awalnya sih saya terima apa adanya saja dari tim daerah, tapi karena asik sudah mainnya jadi sekarang ada harga khusus, kalau mau ketemu jajaran elite sekian, mau ketemu ketua ada harganya lebih besar lagi tuh, tapi kalau wakil-wakil aja sejuta dua juta juga alhamdulillah, begitu juga dengan nomor telp kalau ada yang minta nomor telp itu juga nggak gratis,” tambahnya.
Sementara, Bakal Calon Wakil Gubernur Kaltara Sabirin Sanyong beberapa waktu lalu sempat membeberkan sejumlah fakta menarik terkait belanja politik tersebut, seperti untuk bertemu sejumlah jajaran elite parpol dibutuhkan harga khusus yang di ibaratkan sebagai uang rokok atau uang kopi.
Biaya politik (cost politic), biasa kesempatan (opportunity cost) dan money politic) yakni segala biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan politik, dan acapkali disebut biaya politik (political of cost), biaya yang kita keluarkan sebagai pengganti hilangnya kesempatan konstituen mendapatkan bennefit akibat memenuhi undangan kita hanya sekedar mendengarkan visi, misi, program dan lainnya lalu kita sebut opportunity cost, serangan fajar yang sering kita dengar dalam rangka menggiring konstituen untuk memilih sesuai keinginan kita, manifestasi dari money politik.
“Hal seperti itu kan sudah lumrah, dan itu sudah terjadi saya kira sudah cukup lama, kalau itu dikatakan apakah DPP yang minta, saya kira tidak karena kadang yang bermain itu justru yang menghubungkan kita, ini yang kadang kita katakan belanja politik atau cost politik, cost politik itu kan seperti kita nginap di jakarta, makan minum, ketemu kawan ngopi bareng membahas masa depan Kaltara, itu kan biaya juga semua, itulah yang kita sebut sebagai cost politik, karena anggaran itu kita gunakan dalam rangka politik,” tutupnya.
Reporter: Yoko Handani
