Connect with us

Opini

Omnibus Law : Kado Pahit Hari Buruh?

Wabah corona telah memukul aktivitas ekonomi bangsa kita tak terkecuali di sektor industri. PHK yang telah membanjiri para pekerja akibat dari lumpuhnya sektor usaha membuat kita mengelus dada. Namun di masa prihatin ini justru muncul kebijakan yang bisa jadi lebih dahsyat dari corona.

RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang ditunda pembahasannya hakikatnya menjadi jembatan dua pihak antara pelaku usaha dan pekerja. Bagi pelaku usaha mereka diberi stimulus kepastian terkait besaran upah pekerja. Dan bagi pekerja mereka mendapat kejelasan terkait perlindungan kerja dan status di perusahaannya.

Namun belum sempat dibahas di DPR isi dari RUU tersebut dipandang berat sebelah. RUU tersebut terkesan menguntungkan satu pihak dan mengaburkan peran dan kontribusi pihak lain.

Misalnya dalam dalam pasal 88C draft RUU yang berbunyi; Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Di ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum yang dimaksud merupakan upah minimum provinsi (UMP). Dari draft tersebut sangat jelas adanya peniadaan peran pemerintah daerah kota/kabupaten.

Peran penentuan upah bukan lagi mengambil asas otonomi. Namun diganti dengan kebijakan sentris seorang Gubernur. Padahal mayoritas provinsi membawahi ratusan pemerintahan kota dan kabupaten dibawahnya.

Atas draft tersebut patutlah kita mengkritisi lebih mendalam. Sebab bukan hanya peralihan kewenangan dalam penentuan upah tapi terkait perlindungan pekerja dan pelaku usaha sendiri. Diantara isi RUU yang dipandang berat sebelah adalah:

Pertama, Hilangnya ketentuan Upah Minimum Kota atau Kabupaten. Jika sebelumnya Upah diatur dalam sekup UMK adanya RUU ini memungkinkan skema pengupahan akan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji.

Mengutip komentar Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S. Cahyono melalui Tempo yang mengatakan kalau hanya UMP, maka buruh yang saat ini upahnya mengacu UMK akan dirugikan.

Kedua, Pesangon PHK Berkurang. Nilai yang didapat pekerja yang terkena PHK bakal dipangkas besaran pesangonnya. Hal ini diamini Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dengan alasan agar lebih implementatif. Menurutnya banyak pengusaha selama ini tak mampu membayarkan pesangon sesuai besaran yang telah diatur dalam UU 13 tahun 2003.

Ketiga, Outsourcing Semakin merajalela. Penghapusan 3 Pasal yakni pasal 64,65 dan 66 bakal membebaskan sistem outsourcing untuk semua sektor pekerjaan. Padahal tidak semua posisi pekerjaan diberlakukan dengan mekanisme outsourcing.

Misalnya dalam pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Jika pasal ini dihilangkan maka sistem outsourcing bisa dilakukan bebas di semua jenis pekerjaan.

Keempat, Pekerja bisa dikontrak seumur hidup. Omnibus law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja atau buruh tanpa kejelasan waktu.

Sebelumnya pada Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di antaranya berisi ketentuan PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Dengan dihapuskannya pasal ini, kerja kontrak bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan dan tanpa batas waktu. Sehingga sistem kontrak bisa dilakukan seumur hidup dan pekerja tetap akan semakin langka. Negatifnya lagi karena statusnya kontrak, perusahaan bisa dengan mudah melakukan PHK sepihak. Tidak ada lagi pesangon, karena pesangon hanya mereka yang memiliki status pekerja tetap.

Kelima, perhitungan pengupahan tidak jelas. Diantara pasal lain yang dihapus ialah Pasal 88 B yang berisi Upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu, berpotensi menjadi dasar perhitungan upah per jam.

Jika mekanisme pengupahan tidak memiliki standar yang jelas atau diserahkan ke masing-masing perusahaan maka rentan adanya ketidakadilan. Upah tidak lagi diatur berdasar nominal jam kerja namun bisa jadi sikap subjektif dari pimpinan perusahaan.

Keenam, PHK menghantui pekerja. Dalam RUU cipta kerja muncul pasal yang memberi kewenangan besar bagi perusahaan tanpa pertimbangan serikat. Diantaranya pada Pasal 154 A: (1)Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; b. perusahaan melakukan efisiensi.

Bagi para pekerja RUU ini momok bagi masa depan mereka. Karena sewaktu waktu bisa di PHK dengan dalih efisiensi perusahaan.

Dari semua itu kita patut khawatir jika omnibus law diberlakukan maka ada musibah masal yang menghantui para pekerja. Disaat kondisi yang paceklik ini semestinya pemerintah mendorong pelaku usaha mempertahankan para pekerja dengan kebijakan stimulusnya. Bahkan kalau perlu meniadakan pasal yang kontroversi dan merugikan.

Selamat hari Buruh 1 Mei 2020.

Surya Yuniza
Ketua DPW Partai Gelora Kaltara

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Opini