Newstara.com TARAKAN – Saat ini kasus ganti rugi lahan Bandar Udara Internasional Juwata – Tarakan masih belum ada kejelasan. Warga yang telah menguasai lahan di bandara tersebut, kabarnya belum mendapat haknya selama puluhan tahun dari pemerintah. Namun, lahan itu telah digunakan sebagai perluasan area Bandara.
Sebelumnya, sejumlah massa menggelar aksi unjuk rasa pada Selasa lalu, (08/06/2021) di depan pintu gerbang masuk Bandara Juwata Tarakan. Massa bersama warga menuntut pihak Bandara untuk menyelesaikan janji membentuk Tim Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Pembebasan Lahan Bandara.
Massa sempat ingin masuk ke area Bandara. Namun, dihalangi petugas kepolisian dan nyaris saja terjadi bentrokan antara aparat dengan unsur mahasiswa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Bandara.
Sukma Ardiansyah, Koordinator Lapangan (Korlap) dalam aksi itu meminta bertemu Kepala Bandara Agus Priyanto. Namun, orang nomor satu di Bandara Juwata Tarakan itu kabarnya masih menggelar rapat meeting zoom bersama Menteri Perhubungan RI,
Pihak bandara meminta kepada perwakilan demonstran untuk masuk ke kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara untuk berdiskusi langsung dengan Kepala Bandara, Agus Priyanto.
Pihak Bandara juga berharap hanya perwakilan demonstran saja yang bisa masuk untuk menemui Kepala Bandara, namun pihak demonstran justru meminta Kepala Bandara yang harus keluar menemui para pengunjuk rasa.
“Kasih tahu sama pak Menteri kalau rakyat Indonesia sedang berdiri berpanas-panasan di bawah terik matahari siang untuk menyampaikan keluhannya selama puluhan tahun. Untuk itu, kalau perlu bawa keluar zoom meetingnya, supaya pak menteri bisa mendengar langsung rintihan duka nestapa masyarakat yang sudah puluhan tahun mengalami kronis. Dan masyarakat juga bisa turut langsung mendengarkan tanggapan pak menteri,” ucap Sukma Ardiansyah.
“Kalau Kepala Bandara segan, sungkan, takut atau apalah namanya untuk menyampaikannya, biar saya yang sampaikan ke pak Menteri. Harga mati kami tidak akan masuk, maka suruh Kepala Bandaranya yang keluar menemui kami. Jadi, tidak perlu lagi ada negosiasi,” imbuhnya.
Sementara pihak kepolisian juga semaksimal mungkin turut mengupayakan negosiasi secara berulangkali agar demonstrasi bisa berjalan aman, tertib, dan kondusif. Alhasil, Korlap dan penanggungjawab tetap kukuh tidak ingin masuk menemui Kepala Bandara, dan meminta agar Kepala Bandara yang harus keluar menemui mereka.
“Mari kita berbicara, mari kita atur supaya tidak berbenturan. Saya rasa teman-teman juga mengerti akan hal ini. Kami kepolisian akan menjaga dan melindungi kalian, ayolah kita bernegosiasi,” ujar salah seorang pihak kepolisian.
Negosiasi berlangsung beberapakali, tapi tetap saja tak membuahkan hasil kesepakatan. Polisi pun saat itu tidak patah semangat dengan menyiapkan rencana untuk mewujudkan hasil negosiasi. Sembari menunggu Kepala Bandara keluar untuk menemui mereka, massa aksi meneriakkan orasi-orasinya.
Setelah melewati proses negosiasi yang panjang. Kurang dari 1 menit dari deadline yang disebutkan Korlap, akhirnya Kepala Bandara pun keluar menemui demonstran tepat pada pukul 11.59 WITe. Hanya selisih 1 menit saja, bisa mengakibatkan pintu keluar-masuk aktivitas bandara terblokade oleh para demonstran, dan tentunya berpotensi menimbulkan bentrok antara pengunjuk rasa dengan aparat yang sudah sangat bersiap siaga di lokasi aksi yang notabene objek vital nasional.
Dalam kesempatannya, Kepala Bandara menyatakan bahwa pihaknya telah pro aktif dalam penyelesaian masalah lahan ini. Namun lagi-lagi ada batasan kewenangan yang dimilikinya.
“Kalau saya ditanyakan kapan bisa menggantikan atau membayar pembebasan lahan, saya tidak punya uang, dan itu bukan kewenangan saya, saya hanyalah pelaksana lapangan,” terang Kepala Bandara Juwata.
Agus juga menuturkan bahwa pihaknya akan berkoordinasi kembali kepada Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub RI mengenai surat yang sebelumnya ditujukannya kepada Gubernur Kaltara, Drs. Zainal Arifin Paliwang, SH., M.Hum untuk menanyakan solusi.
“Terkait surat yang kami tujukan ke pak Gubernur, apabila itu ada yang perlu direvisi, maka kami akan revisi,” ucap Agus.
Terpisah dari itu, Fajar Mentari yang bertindak selaku penanggungjawab aksi mengatakan bahwa berlarut-larutnya persoalan ini selama puluhan tahun menggambarkan bahwa pemerintah setempat tidak serius untuk mengawal penyelesaiannya.
“Banyak upaya yang telah dilakukan, banyak hearing yang telah dilewati untuk membahas penyelesaian persoalan ini. Dari hearing ke hearing, melulu hearing dan hearing, tapi tidak ada aksi, implementasi, dan realisasi,” ucap Fajar.
“Hanya kebanyakan diskusi sambil makan snack dan minum yang cocok di tenggorokan, setelahnya diam membisu. Warga dibuat bingung, ini maunya apa sih!. Jadi kesannya perjuangan hak rakyat itu cuma basa-basi, hearing terkesan hanya formalitas, janji pun terlewatkan seperti numpang kencing,” sambungnya mengumpamakan.
Dikatakan Fajar, berbagai upaya telah ditempuh mereka setelah berkali-kali kepala bandara berganti, namun tidak juga membuahkan hasil. “Kalau kondisinya seperti ini, lalu kepada siapa lagi masyarakat harus mengadu?” tanyanya.
Maka menurut Fajar, kalau para pemangku kebijakan dan kewenangan sudah tahu jika kondisinya seperti itu, mestinya mereka tidak melakukan pembiaran masalah yang terkesan disengaja untuk bisa ditonton lebih lama. Harapnya agar para pemangku itulah yang lebih pro aktif, karena jika itu terus didiamkan, maka akan menambah panjang proses penyelesaiannya atau bahkan tidak akan pernah ada selesainya.
“Jika para pemangku itu tidak serius, dalam arti terus diam dan tetap diam, tentu menjadi wajar jika kami mosi tidak percaya kepada pemerintah. Entah apakah mereka pura-pura tidak tahu, pura-pura bego, memang tidak tahu apa-apa, atau memang tidak peduli,” tutur Fajar.
Fajar juga menuturkan, bahwa dalam hal ini dirinya berharap ada iktikad baik dari para pemangku kebijakan untuk melakukan langkah-langkah yang lebih serius dan terukur dengan segera membentuk Pansus untuk percepatan penyelesaian pembebasan lahan bandara agar bisa memperjelas kepastian hukumnya.
Lanjutnya menuturkan, kalau pihak bandara beralasan ragu dengan keabsahan kekuatan alas hak warga, lalu apa masalahnya dan dimana sulitnya jika pengambil kebijakan itu berlaku fair dengan segera membentuk tim Pansus untuk percepatan menuju pada kesimpulan atau keputusan hak atas tanah, jadi semua pihak bisa sama-sama memperoleh jaminan kepastian hukum.
“Dari semua warga yang merasa atau mengklaim memiliki hak tanah di area bandara, toh belum tentu benar bahwa itu tanah mereka, atau bahkan mungkin ternyata tidak ada yang punya tanah di situ. Tapi untuk memastikan itu tanah milik siapa, kan harus lewat proses pembuktian dulu. Cara membuktikannya itu bagaimana?,” tanyanya sambil menjelaskan.
“Jadi, langkah pertama yang seyogianya dilakukan itu harus berangkat dari dibentuknya tim Pansus terlebih dahulu. Bukan memulainya dengan terus mempertanyakan keabsahan alas hak, padahal kenyataannya pihak bandara sendiri yang justru tidak bisa menunjukkan legalitas haknya. Cuma belum tepat saja jika disebut maling teriak maling, karena malingnya belum ketemu,” sambung Fajar.
Sambungnya lagi, apabila tim Pansus itu sudah dibentuk, tentu akan mempermudah penyelesaian inventarisir data, baik itu data fisik dan data yuridisnya.
Kita percayakan saja kepada Pansus untuk melakukan pengukuran kepemilikan lahan, pemeriksaan formal yuridis (bukti formil), dan syarat administratif lainnya.
“Langkah-langkah itu kan lebih jelas, fair, jujur, transparan, dan terukur jika niatnya memang serius untuk menyelesaikan permasalahan lahan bandara yang terbang tanpa arah solusi yang tak kunjung landing. Jangan lagi ada janji yang meleset, mari buktikan janji dengan melesat,” jelasnya.
“Jadi inti dari tuntutan aksi kami itu sebenarnya sangat sederhana, yaitu adanya iktikad baik dari para pemangku kebijakan dan kewenangan untuk segera membentuk tim Pansus, dan berharap ada kepedulian negara yang benar-benar hadir untuk bisa serius menyelesaikan persoalan puluhan tahun rakyat Indonesia yang ada di kota Tarakan, agar Warga Negara Indonesia bisa merasakan hak yang sama di mata hukum,” tutup Fajar. (***)