Newstara.com TARAKAN – Pegiat Aksi Kamisan Kaltara, Muhammad Thalib menyikapi usulan pemerintah terhadap RUU Omnibus Law yang terjadi di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Mereka bahkan dalam waktu dekat ini akan membuat sebuah aksi dan menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law yang dilakukan pada Kamis sore, (27/02/2020) di Samping Kantor DPRD Tarakan.
Aksi tersebut mengangkat tema penolakan RUU Omnibus Law yang melibatkan sejumlah mahasiswa, pemuda dan buruh di Kota Tarakan. RUU tersebut dianggap sebuah pengkerdilan para buruh di Indonesia khususnya di Provinsi Kaltara.
“Kami menggap permasalahan ini sudah sangat urgen untuk disikapi maka sebelum aksi kamisan, rencananya dimulai dengan diskusi publik dengan mengundang sejumlah narasumber dari akademisi, buruh dan pemuda. kegiatan ini dilaksanakan sebagai pemantik untuk menggalang aksi yang lebih besar lagi nantinya,” tutur M. Thalib kepada Newstara.com pada Selasa sore, (25/02/2020) di Alegori Coffee Tarakan.
Thalib menjelaskan ada beberapa point penting yang menjadi perhatian terhadap RUU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja tersebut atau biasa diplesetkan menjadi UU Cilaka (UU Cipta Lapangan Kerja,red). Pasalnya, dengan alasan Pemerintah yang merampingkan peraturan perundang-undangan dan lebih memudahkan menarik investor untuk masuk ke Indonesia.
Namun, salah satu kritikan terkait sistem pengupahan yang berdasarkan jam kerja, dimana jika ini diberlakukan maka akan berdampak buruk bagi buruh dan berpotensi pengupahan dibawah upah minimum yang sebelumnya sudah ditetapkan dan disepakati bersama.
“Karena seperti kita ketahui bahwa upah buruh dihitung berdasarkan jumlah jam kerja dari tenaga kerja itu sendiri, lalu jika diberlakukannya UU tersebut maka berpotensi dilakukan PHK secara massal, karena sudah tidak ada lagi aturan yang keberpihakan kepada buruh,” tuturnya.
Mantan Presiden Mahasiswa BEM STMIK PPKIA Tarakan ini mengingatkan bahwa adanya penurunan pesangon dan penghapusan yang diminta oleh asosiasi pengusaha. Bahkan, adanya keterlibatan BPJS Ketenagakerjaan sebagai campur tangan pembayaran pesangon yang nilainya tidak sesuai dengan masa kerja.
“Kompensasi dari PHK yang diatur dalam BPJS Ketenagakerjaan ini dianggap sebagai akal-akalan saja karena pekerja sendiri yang membayar iuran setiap bulannya, dan sebenarnya itu adalah uang simpanan si pekerja bukan pembayaran pesangon dari perusahaan, ibaratnya mereka sedang membayar sendiri ongkos pemecatannya kelak,” tutupnya.
Reporter: Aldi S
