Newstara.com JAKARTA – Suatu sore yang cerah sejumlah turis lokal yang mayoritas berasal dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) terlihat tengah asyik dengan smartphone untuk ber-selfie ria, lalu tampak di kejauhan anak-anak bermain dan tertawa bahagia sambil berenang dan melompat dari sebuah jembatan yang memiliki tinggi sekira 9 meter.
Yah,… sebuah Jembatan yang berada di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu Jakarta. Jembatan itu dinamakan Jembatan Cinta yang menghubungkan pulau Tidung besar dan pulau Tidung kecil. Untuk menuju lokasi itu, biasanya warga Jakarta dan sekitarnya harus naik kapal cepat (Speedboat) menuju tempat wisata favorit tersebut.
Nama pulau Tidung di Kepulauan Seribu yang merupakan wilayah administrative DKI Jakarta ini ternyata memiliki makna dan sejarah yang mendalam bahkan bagi penduduk setempat sangat melegenda. Dimana populasi penduduknya yang berjumlah 5.000 jiwa (Data sensus terakhir) memiliki latarbelakang dan keturunan suku yang berbeda, seperti suku Bugis, Banten, Sunda, Betawi dan tentu saja Tidung.
Kenapa harus suku Tidung?, dan Bagaimana ceritanya?, Dan ternyata jauh sekali perjalanan orang-orang Tidung (Suku asli Kalimantan Utara,red) menuju ke Kepulauan Seribu yang sudah terjadi ratusan tahun silam. Kita akan mengupas sedikit ceritanya…
Dalam berbagai catatan lisan, tulisan dan bukti fisik, sejarah penamaan pulau Tidung erat kaitannya dengan seorang raja yang berkuasa saat jaman awal kolonial Belanda dari Kabupaten Malinau, yang bernama Muhammad Sapu yang bergelar Panembahan Raja Pandhita.
Beliau diasingkan oleh Belanda karena dianggap membangkang dan tidak tunduk pada kolonial, sehingga mengganggu kepentingan ekonomi penjajah itu di Kalimantan Utara. I‘ Sapu, begitu orang tua dan teman-teman kerabat Tidung memanggilnya, dikenal sebagai raja yang tegas, tak mau bekerja sama, dan terang-terangan menentang penjajahan Belanda akibat penarikan pajak yang sewenang-wenang.
Oleh kolonial Belanda, Raja Pandhita bernasib sama dengan raja-raja penentang Belanda di pulau Jawa, yang juga diasingkan ke berbagai wilayah di Indonesia, beliau diasingkan ke Banjarmasin, lalu ke Jepara, pindah lagi ke Batavia (kini, Jakarta) sekitar tahun 1892.
Bahkan, I’Sapu yang memeng memiliki semangat juang pemimpin rakyat itu sempat berulah dan memberontak ke Pemerintah Belanda dengan bekerjasama dengan Raja Jepara, pemberontakan di Jepara itu membuat Raja Pandhita diberi gelar Sekaca oleh Raja Jepara.
Kembali ke cerita Pulau Tidung, dimana menurut cerita lisan masyarakat setempat, sebelum dinamakan pulau Tidung, pulau ini dinamakan pulau Air Besar.
Selama dipengasingan, masyarakat pulau tak pernah tahu I’Sapu adalah seorang raja, dirinya dikenal sangat baik bergaul, rajin menolong sesama, dan kepada masyarakat, I’Sapu hanya memperkenalkan diri sebagai Muhammad Kaca hingga sang Raja karismatik itu wafat pada tahun 1898.
Makamnya berada disudut pulau, sederhana tanpa simbol walaupun I’Sapu adalah seorang raja Tidung dari Kalimantan Utara yang menentang kolonial Belanda, jauh dari kampungnya, di Kabupaten Malinau. Karena legenda kebaikannya, masyarakat pulau merubah nama pulau Air Besar menjadi pulau Tidung.
Rahasia ini tetap menjadi misteri, hingga kemudian perkembangan teknologi informasi, pada tahun 2010, dimulailah para sejarawan dan periset yang di inisiasi oleh Kabupaten Malinau dan Kabupaten Tana Tidung (KTT), tim melakukan pendalaman dan wawancara terhadap tetua pulau Tidung dan membaca beberapa dokumen milik Belanda dan lainnya.
Maka, diperoleh kesimpulan bahwa orang yang dikenal masyarakat pulau Tidung, dengan nama Muhammad Kaca adalah Raja Tidung, dengan gelar Panembahan Raja Padhita yang telah diasingkan kolonial Belanda. Dalam buku The Hidden Treasury of the Thousand Islands, jelas terekam bahwa Raja Tidung yang makamnya ada di pulau Tidung itu adalah seorang raja yang bernama Muhammad Sapu yang dinobatkan sebagai raja pada 1853 dengan gelar Panembahan Raja Pandhita, dengan pusat pemerintahan di Kuala Kabiran yang sebelumnya berada di Kuala Malinau.
Kini, pulau Tidung merupakan destiasi wisata favorit dan tidak hanya wisatawan dari Jabodetabek, namun terkenal hingga ke mancanegara. Wisata terkenal di pulau Tidung adalah wisata bahari seperti snorkling, diving, banana boat, mancing, kuliner bahkan hamparan pasir putihnya seperti butiran titik-titik bersih tanpa noda.
Untuk ke pulau Tidung tersedia banyak jenis transportasi publik laut, seperti speedboat yang berangkat dari Marina Ancol, Sunda Kelapa, dan Muara Baru di Jakarta. Penulis beberapa kali kesana, termasuk saat pemindahan makam Raja Pandhita tahun 2011, ke tempat yang lebih layak melalui acara adat yang digagas oleh pemerintah kabupaten Malinau didukung oleh Kabupaten Tana Tidung, Bulungan serta tokoh adat Tidung. (***)
Ditulis Oleh : Muhamad Nour, M. Si (Praktisi Kebijakan Publik)