
Newstara.com TARAKAN – Sejumlah massa melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu masuk Bandar Udara Internasional Juwata Tarakan pada Selasa, (08/06/2021). Aksi damai itu terkait menagih janji Bandara untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) penyelesaian pembebasan lahan bandara yang masih menyisakan persoalan.
Masyarakat bersama sejumlah mahasiswa menyayangkan pihak Bandara Juwata Tarakan yang diduga ingkar atas kesepakatan pada hearing bersama DPRD Kota Tarakan beberapa waktu lalu, dimana evaluasi dalam hearing tersebut adalah akan membentuk panitia percepatan penyelesaian masalah lahan bandara.
“Siapa bilang ini lahan sengketa? Karena definisi lahan sengketa apabila ada pengklaiman atas hak yang lebih dari satu. Jadi di mana sengketanya jika masyarakat bisa menunjukkan dasar kepemilikan lahannya, sementara sampai hari ini pihak bandara tidak bisa menunjukkan legal standing lahannya,” tutur Fajar Mentari,
Penanggung Jawab Aksi Unjuk Rasa tersebut.
FM menyesalkan pernyataan Kepala Bandara Juwata Tarakan Agus Priyanto yang mengatakan dirinya tidak punya uang jika pribadinya dituntut untuk ganti rugi lahan.
“Yang nuntut bayar ganti rugi lahan pakai uang pribadinya itu siapa? Menjadi bodoh kami rasanya jika unjuk rasa lalu menuntut kapasitas Kepala Bandara yang harus menyelesaikan ganti rugi lahan pakai uang pribadinya. Ini kan nggak nyambung ya,” imbuhnya.
FM menyampaikan Kepala Bandara jika kapasitasnya hanya Pelaksana Lapangan, dan tidak dalam kapasitas pemangku keputusan penyelesaian ganti rugi lahan. Karena peserta unjuk rasa adalah mahasiswa dan para insan intelektual.
“Kami juga sangat tahu jika kapasitas Kepala Bandara hanya sebatas Pelaksana Lapangan, tapi pelaksana lapangan yang bagaimana? Justru Kepala Bandara ditunjuk sebagai komandan Pelaksana Lapangan yang bertanggungjawab mengurus persoalan di Bandara, maka diharapkan bisa menjadi jembatan penyelesaian persoalan,” tutur FM.
“Persoalan ini sudah terjadi selama puluhan tahun belum selesai-selesai,” sambungnya.
Lanjutnya, Kepala Bandara mestinya bisa menjadi pelaksana penyelesaian masalah yang pro aktif, getol, dan serius atas masalah yang dirinya sendiri sudah tahu jika persoalan ini sudah puluhan tahun tak kunjung menemukan titik solusi.
“Kami menilai bahwa pihak bandara memang tidak serius untuk menyelesaikan persoalan, karena langkah yang dilakukannya sudah di luar kesepakatan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung DPRD Tarakan beberapa waktu lalu,” ungkap FM.
Hasil kesepakatan pada RDP itu disebutkan bahwa pihak bandara segera bersurat kepada para pemangku kewenangan terkait dengan pegusulan percepatan pembentukan Pansus penyelesaian lahan Bandara.
Namun, pihak demonstran merasa tidak puas dengan upaya yang dilakukan Bandara, karena dianggap berbeda dengan hasil kesepakatan bersama.
“Pihak bandara, bukannya mengusulkan untuk segera dibentuknya Pansus, tapi isi suratnya itu lagi-lagi meminta kepada para pemangku kebijakan untuk dicarikan solusi, ini boleh saya istilahkan ‘kembali ke laptop’,” ujarnya.
Pihak demonstran berharap agar masalah ini bisa lebih cepat terselesaikan, tidak lagi terlantar, digantung, dikatung-katung, tanpa kejelasan selama puluhan tahun.
“Lalu langkah yang dilakukannya itu dianggapnya sudah serius dan pro aktif, padahal menunggu balasan surat. Kalau memang pihak Bandara itu serius dan pro aktif, harusnya dipertanyakan dong bagaimana kelanjutan surat permohonannya, bukan hanya menunggu! Dan mengawal ketat instrumen lainnya untuk bagaimana menyegerakan solusinya, agar tidak lagi seperti arwah gentayangan, atau hantu penasaran,” tutur FM.
FM menambahkan soal Kepala Bandara menyoal keabsahan kekuatan alas hak warga, maka alas hak yang hanya berupa ‘kwitansi asli’ tersebut seharusnya diakui oleh negara. Dan sudah disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat RDP yang juga dihadiri Kepala Bandara.
“Buktinya sangat banyak, dasarnya kwitansi tetapi memenuhi syarat untuk menjadi peserta program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), bisa naik ke Sertifikat Hak Milik (SHM),” ujarnya.
Bahkan, suatu lahan masyarakat yang ingin diambil alih hak kepemilikannya oleh pemerintah atau negara, itu tidak mengatur keharusan untuk berstatus SHM, namun ada data yuridisnya sebagai dasar pendukung.
FM menjelaskan bahwa negara boleh mengambil alih hak kepemilikan masyarakat atas lahan atau bangunannya jika prinsipnya negara membutuhkannya, tetapi tidak lalu serta merta main ambil begitu saja. Tentu ada syarat dan mekanismenya. Dalam arti negara harus memenuhi prosedur, baik itu bersifat ganti rugi atau ganti untung.
“Kalau tidak memenuhi prosedur demikian, berarti negara menzalimi rakyatnya sendiri, itu namanya menindas rakyat. Kalau modal rampas, itu namanya merampok hak orang lain. Kita semua ini berada di atas tanah negara hukum, bukan di atas tanah negara begal,” lanjutnya.
FM menyebut pihak Bandara memang tidak menunjukkan adanya iktikad baik penyelesaian ganti rugi lahan bandara kepada warga, karena jika SHM menjadi alasan yang paling mendasar untuk syarat penyelesaiannya, disebutnya bahwa ada di antara pemilik lahan yang alas haknya itu sudah SHM, tetapi kenyataannya pihak bandara juga belum melakukan penyelesaian ganti rugi lahan.
“Kemudian, jika Kepala Bandara mensyaratkan alas haknya itu wajib SHM, maka bahkan ada di antaranya 2 orang atas nama Hj. Akka dan Hawatia, itu alas haknya sudah SHM tapi toh belum dilakukan ganti rugi juga oleh pihak bandara,” ujar FM.
“Artinya bahwa iktikad baik pihak bandara untuk lebih serius menyelesaikan persoalan ini memang tidak ada. Dengan kata lain, apa yang disampaikan Kepala Bandara itu murni hanyalah justifikasi atau pembenaran,” ucap FM.
“Dan paling anehnya lagi, warga setiap tahunnya mereka semua bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka yang bayar pajak tanahnya, tapi bandara yang nikmati hasil tanahnya,” tutup FM. (**)
