OPINI
Oleh : Fajar Mentari, S.Pd
Newstara.com TARAKAN – Berdasarkan informasi dari salah satu media massa yang saya baca, dimana isinya mempertanyakan keberadaan Gubernur Kalimantan Utara, H. Irianto Lambrie yang sudah 3 hari tak kunjung ke posko pengungsian terhitung sejak hari H peristiwa. Idealnya hari H insiden itu sudah ada klarifikasi Humas dan publikasi media massa, agar resmi dan bisa dipertanggung jawabkan.
Tentu hal ini akan menjadi suatu alasan yang berpotensi menurunkan simpati warga dan elektabilitas beliau untuk persiapannya maju kembali di Pemilihan Gubernur Kalimantan Utara (Pilgub Kaltara) mendatang, lantaran dianggap inisiatif dan intuisinya tidak berpihak kepada urusan emergency, melainkan lebih memilih urgency.
Banyak berita musibah di luar sana dimana Kepala Daerahnya sigap, cekatan, dan cepat tanggap darurat menyikapi peristiwa bencana. Bukan hanya dalam bentuk tindakan saja, tapi peran aktif kehadirannya bahkan lebih intens daripada tindakan.
Mereka lebih mendahulukan urusan yang sifatnya emergency ketimbang urgency. Begitu getol wujud peduli dan rasa keprihatinannya meskipun mungkin hanya pura-pura sibuk, pura-pura baik, dan pura-pura apa saja, Wallahu a’lam bishawab.
Sehingga hal ini akan menimbulkan aneka persepsi negatif, dan saya pikir wajar saja. Terlebih lagi sebelumnya di tahun 2019 juga ada beberapa musibah besar terjadi, seperti banjir bandang Tanjung Selor dan tragedi speedboat terbalik, saat itu Gubernur Kaltara juga tidak berada di tempat.
Mengapa kehadirannya diperlukan? Agar tindakannya itu bisa lebih menyesuaikan kondisi darurat, karena tidak bersumber dari katanya anu dan tidak ada kata mungkin, sehingga beliau juga terhindar dari tuduhan cukup main perintah saja, dan cukup dapat info dari katanya, lalu terima beres.
Beberapa persepsi negatif yang saya jumpai di lapangan antara lain pak Gubernur Kaltara lebih mengutamakan perkara yang sifatnya urgency daripada emergency. Kalaupun beliau tidak bisa langsung hadir lebih awal, setidaknya ada permintaan maaf dan pemberitahuan resmi berikut alasannya.
Dari Humas yang diteruskan oleh publikasi media berita, dengan alasan misalnya kebetulan terlanjur di luar negeri, namun kebetulan kondisi disana sangat tidak mendukung untuk pulang cepat berhubung cuaca sangat buruk atau apalah-apalah.
Logika sederhananya, kalau beliau ada di dalam negeri, dan insiden kebakaran sudah 3 hari, naik pesawat berapa jam sih kalau beliau punya niat dan sungguh-sungguh serius prihatin dan sangat peduli? 3 hari itu apakah seharinya 24 jam padat sehingga beliau tidak punya spasi sekian jam saja untuk berkesempatan hadir? Toh bisa kembali lagi terbang sesukanya.
Kalau misalnya keluarga pribadi kita yang terkena dampak kebakaran tersebut, apa yang kita lakukan kalau bukan upaya maksimal sesegera mungkin untuk pulang? Beliau tidak bisa lari dari kenyataan bahwa saat ini beliau adalah siapa-siapa.
Beliau adalah orang nomor 1 di Provinsi Kaltara, tak bisa beliau pungkiri bahwa saat ini ia adalah kepala keluarga besar Kaltara, sehingga seyogianya ia menganggap masyarakatnya itu juga sebagai keluarganya, bukan sebagai kamu siapa (orang lain).
Barangkali memang urusan beliau tidak sesederhana apa yang kita pikirkan, bahkan mungkin lebih sulit dari apa yang kita pikirkan. Urgency memang bukan perkara sederhana, tapi bukan berarti emergency lebih tidak sederhana.
Humas ini kan corongnya pemerintah. Tugas Humas itu salah satunya perpanjangan suara pemerintah. Jadi semestinya tahu apa yang mesti dilakukan dan disegerakan supaya terklarifikasi dan terpublikasi. Sehingga tidak menimbulkan terlalu banyak persepsi yang ragamnya negatif.
Kalau Humas Pemprov Kaltara merasa yakin dengan kegiatan Gubernur yang memang serius tak bisa ditinggalkan, karena sifatnya subtansial dan fundamental, lantas mengapa Humas harus ragu untuk mempublikasi lewat media berita agar tidak terkesan ganjil?
Seyogianya Humas menyebar luaskan informasi dengan keterangan terang dan hal yang paling mendasari sehingga terpaksa lebih mendahulukan urusan urgency ketimbang emergency, dimana urgency tersebut memang betul-betul tidak bisa ditinggalkan dikarenakan mengingat, menimbang, dan memperhatikan harus jelas.
Tidak hanya sekedar alasan bukan sengaja, bahkan jika perlu tampilkan schedule acara beliau. Jangan menjawab gara-gara api kalau ada yang bertanya gara-gara apa bisa terjadi kebakaran, meskipun jawaban itu juga ada hubungannya dengan kebakaran, tapi kan itu bukan argumentasi yang argumentatif.
Apalagi belakangan ini beredar isu bahwa Kaltara yang notabenenya provinsi bungsu dan provinsi kecil, tapi dana operasional Humasnya mencapai angka yang sangat fantastis Rp 58 miliar, bahkan isunya dana segitu sudah dilevel terbesar kedua setelah DKI Jakarta. Ini boleh jadi dimanfaatkan oleh lawan politik untuk jadi manuvernya. Menilai dana Humas yang segede itu tidak berbanding lurus dengan kinerjanya.
Mungkin kehadiran wakil Gubernur (Wagub) dapat menjadi representasi keterwakilan Pemerintah Provinsi Kaltata, hanya saja kebetulan bukan rahasia umum bahwa sosok Wagub itu memang punya pribadi yang selalu menghadiri berita duka meskipun kedatangannya sebagai tamu yang tak diundang.
Dan itu bukan saja kebetulan, tapi sekaligus kebenaran bahwa beliau akan mampir asal beliau tahu dimana dan siapa yang berduka, atau minimal bawa tanda kutip kalau beliau memang tak bisa datang.
Di samping itu, rasa empati atau rasa duka itu tidak bisa diwakilkan. Sama halnya seorang istri melahirkan atau anaknya tengah sakit parah, sementara ayahnya di luar daerah, rasa cinta kasih dan rasa memiliki seorang ayah itu tidak bisa digantikan oleh perwakilan siapa yang mendampingi di ruang medis.
Memang orang baik itu biasanya ada di sekitar orang yang tengah dilanda duka. Lalu masyarakat diharap berprasangka baik, kan tidak semua isi kepala itu sama. Dan kita tidak bisa memaksakan isi kepala setiap orang lain harus sama dengan kita.
Positive thinking atau berprasangka baik itu kan juga harus logis dan menyesuaikan nalar berpikir. Kalau selalunya kita diwajibkan berpikir positif kepada alasan tindak kejahatan, maka tak perlu ada lembaga hukum, ditoleransi saja semuanya.
Situasi dan kondisi ini tentu akan digoreng oleh politik seberang, karena momentumnya sebentar lagi Kaltara akan memasuki babak Pilgub 2020.
Sebenarnya saya sudah dapat informasi dari katanya bahwa beliau sudah menyampaikan permohonan maafnya beserta alasannya melalui facebook (FB). Saya coba telusuri, namun belum ketemu halamannya.
Inilah kelirunya pemangku tupoksi yang dalam hal ini adalah Humas Provinsi yang tidak mengindahkan klarifikasi dan meneruskan ke publikasi media massa dengan disertakan alasan terukur, sehingga dengan adanya informasi resmi itu akan menjaga timbulnya beragam persepsi negatif.
Semua warga se-Kaltara kan belum tentu berteman dengan Gubernur di FB, dan bila pun berteman belum tentu orang sempat baca, apalagi yang tidak berteman. Jadi klarifikasinya itu tidak tepat sasaran jika lewat FB.
Pandangan saya ini jangan dimaknai mendiskreditkan pribadi beliau, demikian itu hanya sederet pandangan negatif yang kebetulan saya simak di lapangan, yang tidak menutup kemungkinan akan muncul persepsi negatif yang lebih beringas dan lebih liar di antara sekian banyak masyarakat.
Namun terlepas dari persepsi negatif apapun itu, saya mengajak masyarakat untuk lebih bijak menyikapi dengan berpikir lebih jernih, toh beliau memang ada agenda penting di luar dan telah mengintruksikan kepada bawahannya yang memangku tupoksi untuk turut serta ambil peran akomodir tragedi Tarakan 21 Januari 2020.
Boleh jadi ini murni kelalaian Humas, atau hanya miss komunikasi belaka, bukan kesalahan moral yang dalam arti hal ini di luar unsur kesengajaan, bukan pula kesalahan kriminal, maka mari kita sama-sama memandangnya positif.
Saya sangat yakin ini di luar unsur kesengajaan, jadi jangan terburu-buru memetik kesimpulan negatif yang kemudian membuahkan dosa yang tidak halal untuk dikonsumsi. Jangan mudah tergiring oleh cuaca politik.
Pisahkan antara urusan pribadi, urusan pemerintah, urusan musibah kebakaran, dan urusan politik. Jangan mencampur adukkan setiap urusan, jangan semua hal digeneralisir, jangan semua ditelan mentah-mentah, jangan dipolitisir, dan jangan didramatisir. Kita harus realistis, jangan idealistis.
Intinya beliau sudah menunjukkan nawaitunya dengan mempersiapkan solusi dan segala bentuk bantuan, baik itu sifatnya pribadi, maupun institusi pemerintah. Lagi pun kehadiran fisiknya bukan obat penawar lara dan duka yang bisa simsalabim langsung menyembuhkan akut, yang bisa kun fayakun langsung normal kembali. (***)