Connect with us

Pilkada

Wow, Jelang Pilgub Kaltara Diduga Mahar Parpol Rp 1 Miliar Perkursi

Ilustrasi nominal rupiah. (Ft. Dok)

Newstara.com TARAKAN – Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) periode 2020-2025 memunculkan isu yang tidak sedap karena diduga mahar politik untuk mendapatkan pengusungan dari partai politik (Parpol) angkanya cukup fantastis hingga mencapai Rp 1 miliar perkursinya, jika paslon dipersyaratkan KPU Kaltara memiliki dukungan 7 kursi maka uang yang harus dikeluarkan untuk belanja politik sebesar Rp 7 miliar.

Sebelumnya, sempat beredar luas petikan video wawancara Gubernur Kaltara kepada salah satu stasiun televisi swasta terkait buka-bukaan mahar politik, secara gamblang disebutkan bahwa angka Rp 1 miliar perkursi untuk mendapat pengusungan dari salah satu parpol tersebut dengan tanpa penyebutkan partai.

Isu mahar politik ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dan sudah menjadi rahasia umum, karena kerap kali menjelang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota maka partai politik sebagai kendaraan dalam melengkapi persyaratan dari KPU.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah, Fajar Mentari, S.Pd mendesak Badan Pengawas Pemilu Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk segera mengusut tuntas persoalan tersebut, dan harus bersikap tegas serta bertindak sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

“Membahas mahar politik tidak lepas dari membahas kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, yang semestinya dilakukan secara demokratis. Karena esensi dan tujuan mahar politik ini sama dengan politik uang. Mahar politik ditujukan untuk mendapatkan dukungan dari partai politik,” tutur FM kepada Newstara.com pada Senin sore, (22/06/2020) di Tarakan.

FM menyebutkan, mahar politik akan berimplikasi pada tingginya biaya politik dalam perhelatan demokrasi di tanah air bahkan menghasilkan pemimpin yang tersandera dengan kepentingan segelintir elite partai. Sehingga, bagi penegakan aturan dan hukum harus tegas memberikan sanksi baik pemberi maupun penerima.

“Yahh disitulah tugas penyelenggara Pemilu dilihat, yang memberi dan menerima mahar harus ditindak tegas. Apalagi, larangan soal mahar ini sudah diatur secara tegas dalam Pasal 47 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Apakah UU itu hanya dijadikan pajangan saja?,”

Dalam Pasal 47 Ayat 5 UU 10/2016, ada sanksi tegas yakni pembatalan terhadap pasangan calon yang memberikan mahar politik, dan Pasal 47 Ayat 2 UU 10/2016 mengatakan ada sanksi yang akan diberikan kepada Parpol penerima mahar tentang larangan mengajukan calon kepala daerah pada periode berikutnya di daerah yang sama.

“Bukan hanya itu saja, ada sanksi administratif, calon kepala daerah yang memberi dan oknum di partai politik yang menerima mahar politik juga bisa terancam terkena sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 187b dan 187c UU Pilkada. Ancaman pidana terhitung berat, yakni pidana penjara 2 hingga 5 tahun bagi pemberi imbalan dan 3 hingga 6 tahun bagi penerima imbalan serta denda Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar,” ucap FM.

Selain implikasi berupa pidana, apabila putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, maka sanksi administratif, yakni pembatalan sebagai calon gubernur, calon bupati, calon wali kota. Bahkan jika sudah ada penetapan terpilih juga dapat dibatalkan. Tidak itu saja, jika sudah menjabat pun masih dapat dibatalkan sesuai dengan Pasal 47 undang-undang yang sama.

“Mengacu pada pasal 47 ayat 2 UU 10/2016, dalam hal Parpol atau gabungan Parpol apabila terbukti menerima imbalan, maka mereka dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Dengan demikian, sanksi dari praktik mahar politik ini sangat berat,” ucap FM

“Gubernur aktif sangat jelas telah memberikan kesaksian (pengakuan) soal mahar politik. Artinya bahwa pernyataan tersebut tentu bukan tanpa alasan dasar pengalaman, karena logikanya beliau sekarang adalah Gubernur aktif,” sambungnya.

FM meminta Bawaslu bekerja sama dengan KPK untuk melacak rekam jejak kandidat Bacalon penyelenggara negara. Selain itu, Bawaslu harus bekerja sama dengan kepolisian dan pihak lain agar mempunyai bekal memberikan sanksi.

“Pertanyaannya sekaranga adalah apakah penyelenggara, pengawas, dan penegak hukum dapat memprosesnya hingga tuntas? Apabila praktik penyimpangan, kecurangan, atau pelanggaran cukup banyak terjadi dan tidak tersentuh hukum, maka legitimasi proses penyelenggaraan pemilihan akan dipertanyakan,” ucapnya.

Fungsi Bawaslu sebagai pengawas pemilu perlu segera memastikan benar tidaknya dugaan itu, agar dapat menjaga integritas dengan pemilu jujur dan adil sehingga dibutuhkan mekanisme menampung dan menindaklanjuti seluruh keberatan, pengaduan, dan gugatan secara efektif, adil, dan tepat waktu. Legitimasi pemilu dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi setidaknya atau sebagian tergantung pada bagaimana negara merespons dan menindaklanjuti pengaduan warga masyarakat.

“KPK juga dapat menelusuri dugaan mahar itu, karena nama-nama yang dikaitkan dengan isu mahar ini memiliki posisi sebagai pejabat negara. Artinya, peran penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan di dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu haruslah dilakukan secara maksimal,” tuturnya.

“Jadi persoalan mahar politik ini jangan dianggap sepele dan diabaikan oleh penyelenggara, pengawas pemilu, dan penegak hukum loh yah, penyelenggara pemilu harus memiliki keberanian, kemauan, dan kecanggihan menghadapi pelaku,” sambungnya.

Ia menilai Bawaslu tidak perlu terfokus pada hal sanksi. Sebab hal itu merupakan sanksi hukuman yang nantinya akan diputuskan pengadilan bila terbukti. Namun, selama proses pemeriksaan tidak dilakukan oleh Bawaslu, hal ini akan terus menjadi pertanyaan publik yang berdampak pula terhadap kredibilitas lembaga tersebut.

Mahar politik jadi pemicu suburnya korupsi yang dilakukan kepala daerah, potensi untuk korupnya tentu sangat besar, sebab setelah duduk menjadi kepala daerah maka yang bersangkutan tentu akan mencari gantinya, karena tidak ada orang yang mau sukarela menghibahkan uang besar tanpa alasan dan kepentingan.

“Siapa sih yang mau keluarkan uang besar kalau tidak yakin bakal kembali, artinya besar kemungkinan telah direncanakan atau bahkan diniatkan untuk dapat gantinya. Nah, untuk menggantinya berapa lama apakah mengharap gaji seorang kepala daerah?, Tanpa pengalaman, apa mungkin nekat mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli partai,” ucapnya.

“Potensi korupsi ini patut dicurigai dan diwaspadai. Tidak salah jika rakyat curiga, karena gaji kepala daerah tentu tidak sefantastis itu. Lalu uang mahar itu uang siapa? Uang rakyat?” ujarnya.

FM mengingatkan rakyat tidak akan mendapat kepala daerah yang antikorupsi jika praktik mahar politik dan dana ilegal untuk mencalonkan diri masih tetap berlangsung. Kegiatan mahar politik harus dihentikan agar kepala daerah terpilih tidak berorientasi untuk meraup keuntungan pribadi saja, melainkan fokus melayani rakyat.

“Yakinlah kita tidak akan dapat kepala daerah yang antikorup, jadi kalau mereka hadir sebagai calon dengan dana ilegal (mahar politik) untuk dapat kursi dengan otomatis mereka kerja bukan untuk rakyat, tapi untuk mengembalikan keuntungan, atau uang yang sudah dikeluarkan untuk duduk di kursi empuk kepala daerah itu,”

Kapan rakyat bisa sejahtera jika uang rakyat terus dikebiri? Saya mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak memilih calon yang berpotensi untuk korupsi. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Sudah saatnya kita bebaskan Kaltara dari kejahatan korupsi. Indonesia harus merdeka dari korupsi, dan harapan saya kemerdekaan itu berangkat dari Kaltara,” tutupnya.

Reporter: Aldi S

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Pilkada